Hukum haji bagi perempuan (istri)
Haji menurut
etimologi ialah bersengaja pada sesuatu yang dimuliakan. Sedangkan menurut
syara’ ialah beberapa amalan tertentu yang dilaksanakan pada waktu tertentu
dengan cara yang tertentu pula.Kewajiban ibadah haji bagi seorang muslim yaitu sekali seumur hidup bagi
seseorang dinamakan “haji Islam atau haji wajib”. Bila seseorang tak mampu
secara fisik, misalnya karena sakit yang tak ada harapan sembuh, ia boleh
mewakilkan kepada orang lain yang sudah pernah berhaji. Bila ada seseorang
meninggal dunia dan ia belum berhaji, ahli warisnya atau orang lain boleh
menghajikan si almarhum, dengan syarat orang yang menjadi mubaddil (yang
mewakili haji) telah berstatus haji. orang mati yang punya tanggungan wajib haji atau yang belum mempu melakukan
ibadah haji Islam/haji wajib (pertama), ia boleh dihajikan oleh siapapun,
walaupun tak seizin ahli warisnya dan tak mendapat wasiat dari yang mati.
Adapun dalil Al-Qur’an tentang haji ada ada pada surat Ali Imran ayat 97 dan
surat Al Hajj ayat 27.
Menurut golongan
Hanafiyah, dalam definisi mampu yang salah salah satunya menyinggung tentang
wanita tidak dalam iddah, oleh karena
itu tidak boleh keluar untuk beribadah haji, kalau ia sedang iddah dari thalak
atau kematian sang suami. Menurut golongan Maliki hampir sama dengan golongan
Hanafiah yaitu: Kalau seorang wanita sedang iddah dari thalaq atau kematian,
maka wajib berada di rumah, dan tidak
boleh beribadah haji. Tetapi kalau ia melakukannya maka sah ihramnya, namun
berdosa. Menurut golongan Syafi’i juga hampir sama sama dengan kedua ulama
diatas tapi agak berbeda sedikit yaitu: hendaknya si wanita disertai dengan suaminya, muhrimnya
atau wanita lain yang dipercaya baik dua atau lebih. Kalau berserta seseorang
perempuan saja, maka tidak wajib beribadah haji, meskipun ia boleh
mengerjakannya bersama dengan seorang wanita dalam pelaksanaan ibadah haji
wajib. Bahkan ia boleh pergi sendirian untuk beribadah haji wajib, asalkan
dalam keadaan aman. Sedangkan dalam ibadah haji sunnah maka tidak boleh bersama
wanita walaupun banyak. Apabila si wanita tidak menemukan lelaki muhrim atau
suami kecuali dengan biaya atau ongkos, maka wajib baginya kalau ia mampu. Dan
sedangkan menurut golongan Hambali yaitu wanita tidak wajib beribadah haji,
kecuali bersama suami atau muhrimnya.
Jadi
menurut saya seorang perempuan (isteri) tidak diwajibkan haji sendiri kalau
bisa sama suami, dan kalau suaminya sudah meninggal harus sama muhrimnya.
Tetapi menurut golongan Syafi’i diberi sedikit kelonggaran yaitu asalkan dalam
keadaan aman.
0 komentar :